Langsung ke konten utama

"Kapan......?"

" Kapan lulus kuliahnya?"

" Kamu sudah lulus, kapan cari kerja...?"

" Wah, sudah kerja disitu, ya? Kapan nikahnya?"

" Sudah punya suami baik...kapan nih punya anak?"

...dan berbagai 'kapan' dan 'kapan' lainnya.

Ini mungkin hal yang sering di dengar para cewek-cewek diatas 20 tahun dan istri shalihah wanna be, ya :) (cowok-cowok juga, pastinya). Gregetan iya, kesel, gondok pasti, tapi ya..paling cuma bisa nanggepin sambil senyum-senyum aja.
Biasanya nih, yang suka kepo beginian itu para ibu-ibu tetangga, bahkan saudara, atau bahkan ketemu ibu-ibu dijalan pun juga ada yang nanyain! Jengkel nggak? Oh,tentu.
Mungkin memang sudah kodrat manusia, selalu ingin tahu dan tidak pernah puas. Apalagi wanita yang memang sudah takdirnya lebih vokal dan banyak bicara. Saat seseorang berhasil mencapai sesuatu, pasti masih mengungkit hal-hal yang belum dimiliki--belum nikah ditanya kapan nikah; sudah nikah ditanya kapan punya anak...dan terus berlanjut...

Gitu terus dah sampai sapi bertelur. :(

Sejujurnya, kekepoan yang berlebihan itu nggak baik, apalagi menyangkut hati seorang manusia. Karena semua insan pasti punya alasan kenapa belum melakukan suatu hal yang sudah banyak dilakukan orang lain. Bisa jadi, dia belum menikah karena masih ingin bekerja mengumpulkan uang untuk lanjut sekolah. Atau, sudah menikah tapi menunda punya anak karena trauma keguguran, belum punya biaya untuk merawat anak-anaknya kelak, dan sebagainya. Tanpa disadari, pertanyaan "Kapan...?" yang kita lontarkan itu bisa menyakiti hati mereka, cuma mereka menutupinya sambil tersenyum kecut. Mungkin kita bertanya dengan niat bercanda sambil ketawa-ketawa, tapi kita kan nggak tahu bagaimana isi hatinya, bisa-bisa dia mendoakan keburukan dan hal-hal jelek pada kita hanya karena pertanyaan "Kapan...?". Na'udzubillah min dzalik.

Setiap manusia pasti punya batas amarah, saat merasa sangat tidak nyaman pasti amarah itu akan meledak. Seperti beberapa waktu lalu di Garut, ada insiden yang membuat seseorang kehilangan nyawa hanya gara-gara pertanyaan yang terkesan simpel dan biasa, "Kapan nikah...?"



Ngeri banget kan :o


Makanya, untuk para Ibu-ibu ataupun calon ibu masa depan, kiranya bisa lebih mengurangi pertanyaan "Kapan...?" pada jomblo ingin nikah  belum menikah ataupun pada orang lain. Bertanya tentu boleh, tapi kalau terus-terusan setiap bertemu kan juga bikin risih. Hitung-hitung demi menjaga hati orang lain dari kedzaliman perkataan kita. Daripada tanya terus 'kapan nikah'...mending bantu cariin, ya nggak? :p Membahagiakan orang lain dan juga berpahala karena sudah membantu, hehe.


Last but not least, thank you.

Ziha













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Semiotika Menurut Para Ahli

Semiotika Charles Sander Pierce Semiotika menurut C.S. Pierce berdasarkan pada logika. Logika mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan menurut Pierce, penalaran dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika Levi Strauss Semiotika menurut Levi Strauss adalah strukturalis. Konsep Levi-Strauss dalam pendekatan kebudayaan strukturalis dipengaruhi oleh konsep geologi, ilmu yang mempelajari tentang pemandangan ( landscape ). Levi-Strauss berpandangan bahwa kebudayaan mempunyai struktur seperti struktur landscape yang terdiri dari bukit, sungai, lembah, vegetasi dan lain-lain. Seperti layaknya seorang ahli geologi, Levi-Strauss melihat dirinya sendiri sebagai seorang ilmuan yang membongkar pola-pola yang dalam dan kausatif yang ada di bawah struktur yang terlihat dari luar. Perhatian utama Levi-Strauss adalah penggunaan detail yang a

The Ultimate Happiness is....

Kebahagiaan. Apa yang terbersit dibenakmu waktu mendengar kata 'happiness' alias kebahagiaan? Uang? Bisaa. Jalan-jalan keluar negeri? Bisa juga. Naik haji? Makan enak? Atau..yang nggak muluk-muluk deh. Bisa makan sehari 2 kali pakai nasi saja sudah bisa bikin 'bahagia'. Tiap orang, tergantung gaya hidup dan faktor-faktor lainnya mungkin ya, tentu punya standar kebahagiaan yang berbeda-beda. Misalnya, saya. Sebagai mahasiswi yang juga kerja sampingan dikit-dikit-- freelance istilah kerennya--kebahagiaan saya saat ini cuma satu! Mendapatkan koneksi internet super cepat tanpa lemot dan (kalau bisa) murah meriah. Aishh banyak maunya kamu --ditimpuk sendal FYI, Indonesia berada di peringkat ke-77 dalam daftar negara dengan koneksi internet tercepat di dunia--cuma peringkat 77 man --dengan kecepatan internet sekitar 7.2 MB/s. Kalau internet provider saya sih, merk *piiiip* paling mentok juga cuma 3.5 MB/s. Dan buat saya yang 100% mengandalkan inte

'Wacana' Forevahh!!

Hello, I'm back~~! Sekarang, mumpung masih anget yah, saya mau sedikit mengulas pengalaman waktu nonton film terbaru dari Marvel Cinematic Universe (MCU) yang di Indonesia ditayangkan bulan Februari lalu. No, no, I'll not telling you spoilers -- saya bakal mengusahakan supaya nggak ada spoiler, hanya review singkat dan pengalaman waktu nontonnya saja, soalnya saya tahu kok nggak enaknya dispoilerin film yang belum kita tonton. Karena bikin hasrat menonton jadi hilang..gitu deh. :( Aaanyway, pasti tahu dong judul film yang akan saya ulas ini. Film yang konon katanya mendobrak kebiasaan film-film Hollywood yang selalu memasang lakon utama berkulit putih--karena di film ini, tokoh utamanya--atau mungkin semua karakternya--berkulit hitam, seperti orang Afrika, sesuai dengan setting filmnya yang mengambil tempat di daerah Afrika sana. Nah, film yang mana ya? Jeng jeng jeng... It is Black Panther!   Mungkin waktu awal-awal filmnya rilis, sudah banyak meme